Sebentar Lagi Ayah Pulang
Terik
matahari tak menyurutkan langkahku, langkah kami semua di atas aspal hitam
ini. Berderap melaju dengan pasti,
langkah-langkah yang bersatu. Menuntut satu hal, menuntut keadilan. Keadilan atas tetes keringat kami, keadilan atas
waktu kami, keadilan atas kerja kami.
Kami hanya menuntut satu hal, menuntut keadilan.
—oo—
“Ayah,
ayah! Adi lapar, Yah! Sudah seharian Adi sabar menunggu Ayah pulang membawa
makanan, apakah Ayah membawa martabak manis pesanan Adi?” anakku yang paling bungsu,
Adi, menagih janji meminta sekotak martabak manis favoritnya. “Adi sayang, Ayahmu baru saja pulang, biarkan
istirahat sejenak yah! Ayo sana mandi sore dulu ya, Nak!” istriku
menyelamatkanku dari rengekan Adi. “Tapi
janji ya, Yah, setelah Adi mandi, Adi dapat hadiah martabak manis! Yeay!” Adi
kegirangan berlari menuju kamar mandi, meninggalkan istriku yang tersenyum
melihat keceriaannya, dan aku yang tertunduk, bingung bagaimana memenuhi
janjiku pada anakku.
“Ayah,sudah
dapat martabak manisnya?” istriku memberikan segelas air putih di gelas yang
sudah sedikit retak. Kupandangi sebentar
air itu, keruh, tapi langsung kuminum dengan rakus seolah baru selesai
melintasi padang Sahara. “Boro-boro, Bu,
tiga puluh ribu perak saja tidak sanggup! Semakin hari, entah kenapa nafas Ayah
semakin berat, padahal Ibu tahu sendiri Ayah sudah berhenti merokok 6 bulan
yang lalu! Kerja Ayah jadi tidak maksimal, upah yang didapat pun semakin
berkurang!” Aku bekerja sebagai buruh bangunan.
Kontraktorku orang yang sangat perfeksionis. Jika perfoma buruh yang dia pekerjakan
diperhatikannya menurun, ia tidak segan-segan mengurangi gaji harian
mereka. Aku terbatuk, lalu istriku buru-buru
mengambilkan lagi segelas air putih di gelas yang tadi kugunakan. Setelah batukku reda, aku menatap
sekeliling. Rumahku, rumah impian yang
kubangun bersama istriku. Rumah yang
telah menyimpan banyak kenangan. Retak sana-sini
di tembok, tak sempat kuperbaiki, tak ada dana! Gorden yang menyekat antar
ruangan, seringkali hanya dijahit secara sederhana oleh istriku bila sobek
ketika anak-anakku berlarian dan kaki atau tangan mereka tersangkut di gorden
sehingga menyobeknya. Rak TV yang
kosong, karena baru saja seminggu yang lalu kami menjualnya untuk kebutuhan
sekolah Marni, anak tertua kami yang duduk di bangku SMA. Dia sebentar lagi lulus, dan demi kelancaran
administrasi kami harus melunasi SPP yang sudah ditunggak selama 6 bulan ini.
“Hmm ya
sudah, Ayah jaga kesehatan dari sekarang, jangan bekerja terlalu berat! Ibu
juga sudah mulai bantu-bantu tetangga sekedar mencuci pakaian, atau menjaga
anak-anak yang orang tuanya sibuk bekerja.
Pendapatannya lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kita
sehari-hari!” Istriku menenangkanku dengan senyumnya yang selalu membuatku
jatuh cinta. Ah, betapa indahnya hidup
ini memandang senyumnya meskipun himpitan ekonomi semakin hari semakin
menjadi-jadi. Namun segera kusadari, di
sudut-sudut matanya yang indah, mulai terlihat guratan-guratan lelah. Di ujung bibirnya pun mulai muncul keriput. Ah, istriku, maafkan aku yang belum bisa
memberikan kehidupan yang layak untuk bidadari secantik dirimu. Aku berjanji akan berusaha lebih giat lagi
tak peduli badanku yang digerogoti lelah dan usia. Izinkan aku membahagiakanmu! Janjiku
sederhana di dalam hati sambil menatap senyumnya yang begitu indah sore ini.
“Terima
kasih banyak, Bu. Maafkan Ayah yang
belum bisa memberi keluarga kita kehidupan yang lebih layak dari ini. Mungkin kalau ayah bekerja lebih keras lagi,
sedikit lagi saja, kita bisa berubah, Bu! Izinkan Ayah bekerja lebih keras ya,
Bu! Sebentar lagi Marni lulus SMA, Adi pun akan naik ke kelas 2 SD, banyak hal
yang harus kita persiapkan. Omong-omong,
tabungan kita ada berapa ya, Bu?” “Alhamdulillah, Yah, kemarin sudah Ibu hitung
tabungan kita ada sekitar 1 juta rupiah, cukuplah kira-kira untuk bayar
tunggakan Marni. Syukur-syukur bisa
membelikan sepatu juga untuk dia, kasihan Yah sepatunya sudah ditambal hampir
sepuluh kali, Ibu tidak tega juga melihatnya.” Ah, banyak sekali hutangku pada
keluargaku ini ya Allah! “Hmm baiklah kalau begitu, Ayah percayakan kepada Ibu
ya tentang ini. Tolong belikan sepatu yang terbaik untuk Marni, supaya dia
tidak malu saat kuliah nanti. Kalau
kurang tolong beri tahu Ayah, nanti Ayah carikan tambahan!” Tak lama kami
mendengar derap lari Adi, dia sudah selesai mandi, mendatangi ruang tamu. “Ayah
aku sudah mandi! Mana martabak manis pesananku?” Aku hendak keluar rumah, berpura-pura mencari
martabak untuk sekedar menjaga hati Adi, “Sebentar ya anakku sayang, Ayah
keluar dulu mau beli martab… uhuk uhuk!!” Tiba-tiba aku batuk keras, tak
biasanya begitu. Tanganku menutup
mulutku, kurasakan tanganku basah, ketika kulihat tanganku, berwarna merah,
darah. Aku panik, tiba-tiba semua gelap.
—oo—
Di atas
aspal hitam ini kami berteriak menuntut keadilan. Atas nama solidaritas kami berkumpul
menyatukan suara, menyatukan langkah.
Spanduk-spanduk berbahasa provokatif kulihat bertebaran di mana-mana. Kami menuntut kenaikan UMR, peningkatan
keselamatan kerja,peningkatan kesejahteraan buruh, dan penghapusan outsourcing. Orang-orang yang tak kukenal saling
berteriak. Ada yang mengumbar sumpah
serapah, makian, ada juga kaum wanita yang ikut serta, menangis. Mataku menatap nanar ke sekeliling. Di tengah terik siang, entah kenapa kurasakan
ada kejanggalan. Polisi yang sedang
berjaga kulihat jumlahnya bertambah.
Mobil-mobil dengan meriam air dan gas air mata pun berdatangan. Ketika kulihat ke puncak gedung-gedung
pencakar langit di sekitar lokasi demonstrasi, aku tertegun. Untuk apa diletakkan sniper di atas sana? Memangnya kami mau
perang? Memangnya kami mau membakar kota ini? Entahlah. Sejurus kemudian, yang kuingat orang di
sebelahku terjatuh, kulihat lubang hitam kecil di pelipisnya, matanya melotot
kosong dan mulutnya terbuka. Aku ngeri.
—oo—
Aku
tersadar dengan infus di tanganku.
Sakit. Dadaku masih terasa sakit,
mulutku kering, kepalaku pusing.
Kuedarkan pandang ke sekeliling, kulihat di sebelah kiriku ada orang
dengan gips dan perban tebal membebat kakinya dan diangkat 45 derajat. Dia dikelilingi orang-orang yang kutebak
sebagai sanak saudaranya. Di sebelah
kananku ada seorang pasien wanita berjilbab yang sedang tidur, dengan tangan
diinfus sepertiku, dan seorang laki-laki yang kupikir suaminya, sedang
membacakan al-Qur’an di telinga sang wanita.
Begitu fasih dan lembut, hatiku ikut tenang mendengar bacaan Qur’an
lelaki itu. Kemudian aku bertanya,
kemana gerangan istriku atau anak-anakku?
Berapa lama aku pingsan? Di rumah sakit mana aku berada? BAGAIMANA aku
bisa membayar semua ini?
Tak lama
setelah kegamangan berkecamuk di benakku, pintu terbuka dan bidadariku masuk
disusul dua sosok yang aku kenal, Adi dan Marni. “Alhamdulillah Ayah sudah sadar. Bagaimana kabar Ayah? Sudah baikan?” Tanya
istriku. “Alhamdulillah, Bu. Sudah berapa lama ya Ayah pingsan? Dan ini di mana
Bu? Siapa yang membawa Ayah ke sini?” aku bertanya cepat, sedikit panik. “Ini di Rumah Sakit Cipto, Yah. Para tetangga yang menggotong Ayah sampai
mobil, kemudian dibawa sampai ke sini. Ayah
sudah pingsan seharian, dokter bilang Ayah kecapean, dan harus istirahat. Dokter juga bilang paru-paru Ayah bermasalah
dan harus diberi obat. Ibu kemarin sudah
mengusahakan meminjam ke majikan Ibu dan tetangga-tetangga sekitar kita, alhamdulillah
cukup untuk bayar biaya opname dan obat!” istriku menjelaskan dengan sabar,
senyumnya tetap menghiasi wajahnya. “Astaghfirullah,
salah apa Ayah sampai begini? Jadi kapan Ayah bisa pulang Bu? Kita tidak akan
sanggup untuk bayar biaya opname semalam lagi!” aku mulai panik, membayangkan
hutang yang takkan sanggup kami pikul. Kemudian istriku menangkanku, “Tunggu
dokternya dulu Ayah, kalau menurut dokter sudah bisa pulang, baru Ayah pulang.”
Tak lama
kemudian dokter datang dan mengabarkan bahwa aku terkena TBC. Aku kaget dan tak percaya. Dokter menyuruhku untuk opname sehari lagi,
namun aku bersikeras untuk pulang berhubung aku tidak punya dana lagi untuk
berobat. Aku diizinkan pulang setelah
membayar registrasi, sempat aku bersitegang dengan petugas apotek karena uang
yang kami miliki kurang dua puluh ribu perak.
Setelah negosiasi alot, obatnya berhasil kami tebus.
Sesampai di
rumah aku masih merasa lemas. Aku menyempatkan diri ke rumah Saparno, teman
sesama buruh, di perjalanan pulang tadi, mengabarkan bahwa tadi aku tidak bisa
masuk kerja karena sakit dan dirawat inap.
Dia sudah tahu kabar itu dan sudah disampaikan kepada kontraktor. Namun ajaibnya, kontraktor tidak mau peduli
hal itu dan malah mengurangi gaji harianku.
Aku pun semakin bingung.
—oo—
Suasana
yang tadinya ramai tertib, berubah menjadi kekacauan. Orang-orang berlarian menyelamatkan diri
sendiri, tak peduli bahwa pada awalnya kami semua berangkat dengan satu
langkah, satu tujuan. Sikut kiri, sikut
kanan, dorong kiri, dorong kanan, ada yang terjatuh, diinjak saja kepalanya,
punggungnya, kakinya, sampai sesak dan tak bernafas lagi. Aku panik, mencoba tenang, tapi tak bisa! Aku
ikuti arus, berbalik arah menuju tempat pemberangkatan kami tadi pagi. Spanduk-spanduk berjatuhan di jalan,
sorak-sorai yang padu berubah menjadi lolongan-lolongan kesakitan minta tolong.
Mengerikan!
Aku
berlari, berlari sekuat tenaga, tak peduli paru-paruku pecah, yang penting aku
selamat, aku terus berlari! Tak terhitung berapa badan yang kuinjak, berapa
seruan tolong yang kulewatkan, ampuni aku ya Allah! Aku hanya ingin melihat
senyum istriku, bidadari duniaku menyambutku di depan rumah, membawakanku
segelas air putih keruh dengan gelas yang sedikit retak. Aku ingin melihat wisuda Marni, dia sebentar
lagi wisuda! Aku pun ingin melihat Adi mengenakan seragam putih-biru dengan
raut bangga di wajahnya sambil bersorak, “Ayah, aku sudah SMP!” Semakin banyak kelebat bayang-bayang impian
di benakku, semakin berat aku rasakan paru-paruku menyuplai oksigen ke tiap
organ tubuhku. Setelah divonis TBC oleh
dokter 4 tahun lalu, pernafasanku menjadi sangat sensitif. Pandanganku berkunang-kunang, kakiku lemas, nafasku
megap-megap, aku tak berdaya lagi, aku tak mampu berlari lagi. Kuambil langkah-langkah kecil, kadang orang
di belakangku menyedakku dan mendorong tubuhku.
Kupertahankan keseimbanganku, aku hanya berpikir, “Aku harus pulang!”
Tak lama, aku tak sanggup berjalan, aku berlutut, dan jatuh tertelungkup,
mencium aspal hitam yang sedari tadi kuinjak.
Dari belakangku, aku mendengar derap langkah ribuan orang yang berlarian
panik. Senyum istriku, senyum
anak-anakku, terbayang lagi. Mereka
seakan sedang menunggu kehadiranku di rumah, mereka menunggu di depan rumah,
berdiri bersama-sama, siap menyambutku dengan senyum termanis mereka. Sebentar saja ya, Ibu, Marni, Adi, Ayah
sedikit lelah, Ayah mau rebahan sebentar saja di aspal hitam yang panas dan
kasar ini. Setelah Ayah istirahat, Ayah janji akan pulang ke rumah, pasti!
Makanya, sebentar saja ya. Sebentar
saja.
Komentar
Posting Komentar