Lihatlah Buku dari Isinya
Don't judge the book by its cover
Pepatah di atas pasti udah sering banget kita denger. Jangan menilai sebuh buku dari bungkusnya, dari cover-nya saja. Kalo mau nilai skualitas buku, harus dibaca semua, ditinjau segala aspeknya, baru kita bisa nentuin kualitas buku itu, baik atau buruk. Begitupun manusia, makhluk yang jauuuh lebih kompleks dari sebuah buku. Kalo sebuah buku cuma membahas sebuah atau beberapa pokok bahasan, diri manusia membahas berribu-ribu bahkan berjuta-juta pokok bahasan, itu untuk satu orang. Bayangkan jumlah manusia yang saat ini saja sudah menyentuh angka 8 milyar, wow! Mesti diresensi berapa lama ya?
Awalnya sempet ga percaya sama pepatah itu, sempet berpikir bahwa untuk ngeliat orang secara utuh ndak perlu dipelajari dan diselami terlalu dalam, dari luarnya pun bisa kita nilai langsung. Kalo dia berandalan, ugal-ugalan, ga teratur, beuh udah pasti ga bener orangnya, harus dijauhi, berbahaya. Tapi sebaliknya, kalo tampangnya rapi, intelek, prestasinya gemilang, kaya, dan sebagainya, mesti dideketi, diambil ilmunya, dijadiin sohib biar kalo ada apa-apa bisa minta bantuan. Some of us may be think in that way.
Setelah perjalanan hidup membawa gue sampai saat ini #ceilah akhirnya sadar juga bahwa pepatah itu bener banget adanya. Banyak fakta-fakta kehidupan yang bertolak belakang dengan yang awalnya dipikirin. Ternyata diri ini belum dewasa benar, mesti banyak-banyak lagi menempa hati, menghaluskannya, merendahkannya, dan mengajarkannya untuk bisa memahami orang lain, menyelami sanubari mereka, supaya bisa naik level, dari manusia individualis menjadi manusia sosial yang sempurna, yang berguna, yang bermanfaat. Semoga kita semua bisa mengamalkannya, bahwa menilai seseorang tidak cukup dari luarnya saja. Harus diselami, dimaknai, disahabati semua orang yang kita kenal, agar kita mampu menjadi orang-orang yang bersyukur dan berpikir.
Pepatah di atas pasti udah sering banget kita denger. Jangan menilai sebuh buku dari bungkusnya, dari cover-nya saja. Kalo mau nilai skualitas buku, harus dibaca semua, ditinjau segala aspeknya, baru kita bisa nentuin kualitas buku itu, baik atau buruk. Begitupun manusia, makhluk yang jauuuh lebih kompleks dari sebuah buku. Kalo sebuah buku cuma membahas sebuah atau beberapa pokok bahasan, diri manusia membahas berribu-ribu bahkan berjuta-juta pokok bahasan, itu untuk satu orang. Bayangkan jumlah manusia yang saat ini saja sudah menyentuh angka 8 milyar, wow! Mesti diresensi berapa lama ya?
Awalnya sempet ga percaya sama pepatah itu, sempet berpikir bahwa untuk ngeliat orang secara utuh ndak perlu dipelajari dan diselami terlalu dalam, dari luarnya pun bisa kita nilai langsung. Kalo dia berandalan, ugal-ugalan, ga teratur, beuh udah pasti ga bener orangnya, harus dijauhi, berbahaya. Tapi sebaliknya, kalo tampangnya rapi, intelek, prestasinya gemilang, kaya, dan sebagainya, mesti dideketi, diambil ilmunya, dijadiin sohib biar kalo ada apa-apa bisa minta bantuan. Some of us may be think in that way.
Setelah perjalanan hidup membawa gue sampai saat ini #ceilah akhirnya sadar juga bahwa pepatah itu bener banget adanya. Banyak fakta-fakta kehidupan yang bertolak belakang dengan yang awalnya dipikirin. Ternyata diri ini belum dewasa benar, mesti banyak-banyak lagi menempa hati, menghaluskannya, merendahkannya, dan mengajarkannya untuk bisa memahami orang lain, menyelami sanubari mereka, supaya bisa naik level, dari manusia individualis menjadi manusia sosial yang sempurna, yang berguna, yang bermanfaat. Semoga kita semua bisa mengamalkannya, bahwa menilai seseorang tidak cukup dari luarnya saja. Harus diselami, dimaknai, disahabati semua orang yang kita kenal, agar kita mampu menjadi orang-orang yang bersyukur dan berpikir.
Komentar
Posting Komentar