Titip Absen

Akhirnya internet telah datang di laptop tercintah (yang umurnya sebentar lagi)!! Maka blog ini pun akan segera dicurahkan cinta (?) Sebagai pemanasan, sebelum laptopnya diinstal ulang karena mulai ngadat, mau ngeluarin tulisan yang udah jadul banget, ditulis waktu masih TPB dan masih bergejolak darah mudanya (?) Check this out~


TITIP ABSEN, Sebentuk Kegiatan Regenerasi Terselubung Koruptor

Sewaktu kolokium Pendidikan Pancasila di kelas saya, pada Selasa 27 September 2011 yang lalu, membahas mengenai korupsi.  Kolokium yang dikemas dalam bentuk diskusi kelompok berlangsung hangat dan banyak pertanyaan serta tanggapan.  Meskipun opini setiap kepala berbeda tentang sanksi yang pantas diterima koruptor  – apakah dihukum mati atau penjara – semua setuju kalau perbuatan korupsi itu adalah dosa, dan koruptor harus dihukum seberat-beratnya.

Di saat berlangsung diskusi itu, pikiran saya tiba-tiba melayang dan terkenang lagi dengan pertemuan di Forum Komti Se-IPB, Kamis 22 September 2011 silam. Ketika itu, masih segar dalam ingatan saya, Menteri Kebijakan BEM KM IPB memaparkan bahwa dana yang dibutuhkan untuk pengelolaan IPB selama 1 tahun, berkisar antara Rp 800-900 milyar, sebuah jumlah yang tidak kecil.  Dikatakan juga oleh beliau bahwa SPP yang dibayarkan oleh seluruh mahasiswa S1 jika dikumpulkan, hanya mencapai nilai Rp 50 milyar. Jika digabung dengan S2, S3, dan Diploma pun baru mencapai nilai Rp 150 milyar.  Amat sangat jauh bila harus mencukupi kebutuhan IPB yang disebutkan sebelumnya.  Maka darimana sisa uang yang diperlukan?

Sisa uang yang harus dipenuhi oleh IPB didapat juga dari program pengabdian masyarakat, properti-properti milik IPB seperti Botani Square, Ekalokasari Plaza, Asrama, dan IPB Convention Center.  Namun ternyata dari itu semua pun masih belum mencukupi.  Faktanya, keuangan IPB masih ditopang oleh APBN, sebesar Rp 400-500 milyar, setengah dari jumlah dana yang dibutuhkan IPB.

Apa yang bisa kita simpulkan dari fakta ini? Kesimpulannya, kita sebagai mahasiswa IPB, untuk kuliah pun masih disubsidi oleh APBN yang notabene uangnya diambil dari rakyat Indonesia.  Kita yang meski sudah membayar SPP sekian juta per semester, masih dibantu oleh saudara-saudara kita se-Indonesia.  Lalu apa hubungannya dengan judul yang saya angkat?

Fenomena titip absen sudah menjadi rahasia umum di kalangan mahasiswa IPB pada khususnya – namun saya tidak tahu apa yang terjadi di universitas lain.  Mereka yang malas masuk kuliah entah karena sudah merasa pintar atau memang sedang malas, dengan seenaknya menitipkan absen pada temannya yang masuk.   Apa bedanya tindakan ini dengan para pejabat yang korupsi? Para pejabat sudah diamanahi oleh rakyat untuk mengelola uang dan kepercayaan oleh rakyat supaya rakyat bisa hidup makmur dan sejahtera.  Mahasiswa sudah diamanahi oleh rakyat untuk menimba ilmu dengan benar dan sungguh-sungguh agar bisa membawa rakyat kepada taraf hidup yang lebih baik.  Jika pejabat menyalahgunakan kekuasaannya, berarti mereka korupsi, dan mereka sudah tentu berdosa. Kalau mahasiswa menitipkan absennya, bukankah sama saja dengan pejabat yang menyalahgunakan jabatannya?  Bahkan, mahasiswa tidak hanya dititipi amanah rakyat, tapi dititipi pula amanah dari orang tua.  Anak macam apa yang tega melukai kepercayaan orang tua yang sudah susah payah membiayai kuliah tapi anaknya malah menyia-nyiakan pengorbanan orang tua mereka?

Fenomena titip absen ini, setelah saya telaah lebih jauh, tidak ada bedanya dengan fenomena menyontek dan bekerja sama saat ujian berlangsung – sama-sama menyalahi peraturan.  Secara ekstrim, saya menganggap semua fenomena itu sebagai proses regenerasi jiwa koruptor yang terjadi secara terselubung dan tidak terasa, namun sedikit demi sedikit meracuni hati mereka yang melakukannya, dan menggelapkan hati mereka sehingga perbuatan menyalahi aturan sudah dianggap biasa, bahkan menjadi tidak pas rasanya jika tidak melanggar peraturan, miris sekali.  Terkadang saya suka tergelitik dengan alasan mereka yang bersedia dititipkan absen, mereka melakukannya atas dasar rasa ‘solidaritas’, sebuah makna solidaritas yang disalah artikan dan diterjemahbebaskan tanpa melihat dan meninjau konsekuensi yang terjadi setelahnya.

Pembaca boleh menganggap saya idealis yang munafik, orang yang sok suci atau sebagainya, tapi ini negara demokrasi dan saya hanya menyampaikan pandangan saya mengenai fenomena titip absen.  Saya sedih melihat teman-teman sekelas saya yang dengan mudahnya menitipkan absen hanya karena mereka malas dan ingin kongkow-kongkow saja sambil ngobrol ngalor ngidul.  Saya melihat titip absen ini sebagai pembiasaan untuk berbuat korupsi, menyalahgunakan kekuasaan yang ada, serupa dengan perilaku menyontek dan kerjasama saat ujian.  Memang sebuah utopia mendambakan institusi pendidikan tanpa cacat, tapi alangkah indahnya jika masing-masing dari kita berusaha sebaik mungkin untuk berbuat jujur dan mematuhi peraturan yang ada, karena peraturan bukan dibuat untuk dilanggar, tapi untuk menciptakan suasana yang kondusif dan nyaman untuk semua orang.  Lagipula kalau pun ada halangan untuk hadir, ada sistem yang sudah mengatur agar kita tetap dihitung masuk, dan itu bisa diusahakan jika memang niat kita baik. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat.  Jangan sampai IPB menjadi tempat pembiasaan untuk melakukan korupsi terselubung, yang akan menuntun kepada korupsi yang sebenarnya. Na’udzubillah min dzalik.  Mari kita berubah menjadi lebih baik, mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang, mulai dari hal yang paling kecil.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yayasan Al-Kahfi: Sebuah Testimoni

Journey Beyond the Lands #6: Opname (part 1)