Journey Beyond the Lands #2: Simfoni Angklung Nomor 27

     Pada suatu masa, hiduplah seorang pemecah batu gunung. Mencari penghidupan dari memecah batu di gunung dekat rumahnya, setiap hari, dari pagi sampai petang. Suatu hari ketika dia sedang bekerja, lewatlah iring-iringan rombongan kerajaan. Di dalam hatinya dia sangat iri karena sang raja memiliki hidup yang begitu enak dan santai. Akhirnya dia berdoa supaya dia bisa menjadi raja. Lalu, seketika itu pula Tuhan mengabulkan doanya dan jadilah dia sang raja.
     Ketika dia menjadi raja, benar bahwa hidupnya serba enak. Ditandu kemana-mana, dilayani segalanya, tiada kurang apapun. Namun ketika dia sedang dalam perjalanan ke suatu daerah, matahari sedang bersinar terik saat itu. Sang raja murka dan mengumpat matahari, lalu dia berdoa supaya dia bisa menjadi matahari. Tuhan kembali mengabulkan doa sang raja, dan jadilah dia matahari yang menyinari bumi.
     Ketika dia menjadi matahari, dia sinari semua yang ada di bumi dengan amat kuat.  Hampir tidak ada tempat yang tidak terkena sinarnya. Namun suatu ketika, ada segumpal awan yang menghalangi sinarnya. Sang matahari pun marah dan murka. Akhirnya dia berdoa kepada Tuhan agar dia dijadikan segumpal awan. Lagi-lagi Tuhan mengabulkan doanya dan jadilah dia menjadi awan.
     Ketika dia menjadi awan, dia bisa melanglangbuana dan menutupi sinar matahari semaunya, memberikan keteduhan bagi segala yang di bawahnya. Namun suatu ketika, dia dibuyarkan oleh angin yang keras. Kembali dia murka, dan kembali berdoa kepada Tuhan agar dia dijadikan angin. Lagi dan lagi, Tuhan mengabulkan permohonannya.
     Ketika dia menjadi angin, dia tiupkan kuasanya kemana-mana. Pohon, awan, rumah, segalanya yang dia inginkan, dia tiup sesuka hatinya. Namun ada satu hal yang tidak bisa dia tiup, yaitu sebuah gunung batu yang kokoh. Sekuat apapun dia meniup, gunung batu itu tetap di posisinya, tak bergeming. Akhirnya dia kembali marah dan meminta Tuhan untuk menjadikannya sebagai gunung batu itu. Lagi, Tuhan mengabulkan permohonannya.
     Ketika dia menjadi gunung batu, dia merasa amat perkasa. Tidak ada yang bisa menumbangkannya. Bahkan ketika sekelilingnya tersengat sinar matahari yang terik, atau porak poranda diterjang angin, dia tetap berdiri kokoh tak tertandingi.  Tapi suatu ketika, dia tiba-tiba merasa sakit yang amat sangat. Ketika ia mencari tahu apa penyebabnya, ternyata ada seorang pemecah batu yang sedang bekerja; memukul gunung batu dan mengikis perlahan-lahan bagian tubuh si gunung batu. Akhirnya, si gunung batu pun kembali memohon kepada Tuhan untuk mengembalikan dia menjadi pemecah batu kembali.

(Kisah Seorang Pemecah Batu yang Tidak Puas; pernah baca tapi lupa sumber, dengan berbagai improvisasi)

--000--

     Jadi ceritanya tanggal 20 Juli 2013 nanti ada ASEAN Festival yang bakal diadain di Roppongi. Dari Indonesia bakal nampilin permainan angklung (itu loh alat musik yang dari bambu, khas Jawa Barat, kalo gatau googling aja yah :P), bawain lagu-lagu medley Jepang judulnya Sakura (ada 4 atau 5 lagu yang di-medley judulnya Sakura semua).  Jadi angklung itu mesti dimainin dengan banyak orang, gabisa sendiri, karena satu angklung itu cuma bisa ngeluarin 1  macam nada atau kunci, gabisa yang lain. Makanya butuh banyak orang buat mainin beragam ukuran angklung yang masing-masingnya ngeluarin nada yang beda, tapi kalo maininnya bener bakal menghasilkan simfoni, satu kesatuan lagu yang apik.
     Kebetulan gua dapet angklung nomor 27, nada do tinggi, kalo pas SD lambang angkanya itu yang ada titik di atas angka 1 :P Kebetulan kalo diakumulasiin dari semua lagu, nada do tinggi ini ga terlalu banyak muncul, hanya sesekali, dan sifatnya sebagai pemanis lagu aja. Paling bakal agak sering muncul kalo ada lagu yang tipe maininnya itu mainin kunci, bukan melodi (yang ga ngerti tentang musik sabar ya :P #kayakadayangbacaaja #plakk). Alhasil ada banyak 'waktu senggang' buat gua deh. Seneng? Ternyata nggak. Ngeliat temen yang lain pada kebagian banyak, asa gimanaa gitu cuma kebagian dikit (banget). 
     Tapi pernah suatu kali nyoba ga mainin nada karena berasumsi "Ah ngapain kalo ga mainin juga ga bakal ketauan ini." #janganditiru. Ternyata salah besar! Mas-mas pelatih malah nanya "Do tinggi mana do tinggi? Angklung nomor 27?" Nyesss..... meskipun jarang dimainin, tapi ternyata si angklung nomor 27 ini punya peran yang besar di lagu. Lagu akan 'pincang' tanpa kehadiran si 27 ini.
    Ternyata di sisi lain, sambil ngeliat juga teman-teman yang kebagian mainin banyak, ada yang sedikit kesulitan dan sempat mengeluh karena dapet bagian yang susah, dengan nada-nada setengah dan diselingi tanda istirahat dan sebagainya. Lalu terpikirlah, "Wow, gua aja yang pengen mainin lebih ga dapet kesempatan, tapi ada yang dapet kesempatan main banyak, merasa kesulitan mengimbangi," 
     Jadi..... tiap orang udah punya tempat dan 'pos'nya masing-masing. Semua udah bener-bener sesuai dan klop dengan kemampuannya. Tapi, sedikitnya peran yang didapat bukan bermakna kemampuannya rendah atau tidak dipercaya, mungkin atasan kita belum liat kemampuan kita, dia (mereka) butuh kita untuk membuktikan kalo kita mampu, mungkin kita dikasih kesempatan untuk mengamati dan belajar dari yang lain, dan mungkin-mungkin lainnya.
     Akhirnya, simfoni-simfoni angklung itu sudah mulai terbentuk rapi dan apik, syahdu. Tinggal bagaimana nantinya masing-masing angklung sadar posisi dan perannya, dan tidak merasa inferior ketika hanya muncul sedikit, atau merasa superior ketika banyak diandalkan dalam lagu. Semua sudah sesuai kok, sudah sangat klop dengan kemampuan masing-masing. Selamat berkarya :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yayasan Al-Kahfi: Sebuah Testimoni

Journey Beyond the Lands #6: Opname (part 1)