Lelaki Bermata Sendu Senja


Penghujung Oktober, seharusnya aku sudah mengeluarkan jaket-jaket dari lemari, dan mulai memakainya di keseharian, tapi sial, efek global warming jauh lebih parah dari dugaan semua orang. Di penghujung Oktober saja, kau masih bisa melihat banyak orang berlengan pendek atau anak-anak sekolah yang masih menaikkan roknya ke atas lutut. Padahal kupikir musim gugur telah datang, tapi berkat hujan di awal minggu kemarin, udara menghangat kembali dan terpaksa kuurungkan niat memakai windbreaker yang kubeli 2 minggu lalu.

Semua daun-daun di sekitar asramaku sudah rontok, hanya beberapa saja yang masih bertahan, itupun sudah berwarna coklat dan jika ada angin sedikit lebih kuat saja, mereka akan gugur, jatuh ke bawah. Hanya ada beberapa daun hijau yang bisa kulihat menjulur menggapai jendela kamarku, seakan berkata "Halo Shinji, ini sudah musim gugur tapi kami masih hijau loh."



Tahun terakhir aku ada di kamar ini, setelah 4 tahun aku membangun hubungan dengan kamar ini. Entah sudah berapa teriakan, senandung, amarah, sedih, bahagia, segala hal yang kualami di kamar ini. Mengetahui akan harus berpisah di bulan Maret nanti saja sepertinya berat sekali, karena aku menyayangi kamar ini dan seisinya, seperti aku menyayanginya. Aku merasa ada banyak hal yang belum aku lakukan dan seharusnya bisa aku lakukan di kamar ini, tapi sisa waktuku tak banyak, mungkin sudah habis. Ya..sudahlah... Mungkin sudah ditakdirkan begitu, bahwa aku akan melakukan apa yang tidak sempat aku lakukan, nanti di kamar baruku.

Penghujung Oktober, seperti tahun-tahun sebelumnya, ada festival panen di kampusku, sebuah festival tahunan yang selalu ditunggu dengan antusias oleh civitas kampus maupun warga sekitar kampus, atau bahkan orang-orang dari jauh pun banyak yang akan sengaja datang ke untuk melihat festival kampusku. Namun tetap saja tahun ini berbeda, karena tahun ini organisasiku tidak ikut turut meramaikan karena satu dan lain hal. Sayang sekali memang, tapi setidaknya aku bisa bebas berkeliaran nanti, melihat dan mencicip makanan-makanan enak, atau sekadar duduk di lapangan sambil menikmati keramaian dan gegap gempita festival. Sudah lama sekali aku ingin duduk di tengah lapangan itu, mungkin rebahan menghadap langit, sendiri.

Entah kenapa banyak orang yang suka dengan musim gugur, katanya musim paling indah. Aku pun kadang menyetujui diam-diam, karena memang melihat pohon-pohon menguning dan mencoklat serentak berirama, ada sebuah tenaga magis. Mereka seperti berkata, "Lihat, kami sudah di penghujung hidup kami. Kami akan meninggalkan kalian, tapi tenang saja, akan ada yang menggantikan kami, kamu jangan bersedih." Tidak perlu ada kekhawatiran mereka menghilang selamanya, karena toh, 4-5 bulan lagi mereka akan kembali bertunas, bersemi, dan berdaun lagi.

Aku pun sudah jarang mendengar suara gagak belakangan ini, malah sepertinya baru memperhatikan, apakah mereka selalu menghilang ketika cuaca mendingin? Kemana mereka pergi, berhibernasi di sarang mereka? Pulang ke rumah, ke tempat keluarga mereka berkumpul dan menghangatkan diri? Ah.. Mengetahui kalau kau punya tempat kembali, ketika lelah, kedinginan, terluka, setelah kau korbankan waktu dan tenagamu untuk mereka yang kau sayangi, memang menenangkan, menentramkan.

Aku jadi ingat, senpaiku pernah mengomentari soal mataku. Senpaiku itu laki-laki ya jangan salah paham, dia teman sekamarku dulu. Dia bilang, mataku bernuansa sendu, dan katanya itulah yang mungkin membuatku populer. Ngaco-ngaco saja ya, apa hubungannya. Tapi memang, aku dapatkan mataku ini dari Mama, matanya memang sendu, teduh, menenangkan. Banyak orang bilang aku ini hasil fotocopy dari Mama, tinggal dijiplak dan voila, jadilah aku. Meski begitu, sepertinya sifatku berbeda dengan Mama. Mama itu orang yang tegas, kalau A, ya A., kalau B, ya B. Sedangkan aku, aku mudah berkompromi dengan keadaan. Harusnya sih A, tapi kok B juga mungkin yah.. Coba deh dipertimbangkan dulu. Yaa, seperti itulah kira-kira. Kadang Mama juga sebal dengan sifat aku itu, tapi yaa dia maklum juga sih, hanya selalu mengingatkan kalau aku harus punya pendirian.

Aku pun akhirnya memutuskan berpendirian, aku pilih jalanku, jalan yang sulit dan terjal, padahal sebelumnya aku sudah ada di jalur yang aman dan nyaman. Oh ya, aku juga orang yang nekat ternyata, aku suka tantangan dan yang demikian, dan juga tergesa-gesa. Ah, kombinasi yang jelek ya. Pada akhirnya, aku terjerembab, tanganku tak bisa menggapai ujung tebing itu, ujungnya yang terlalu bergerigi melukai tanganku. Peganganku terlepas, aku terguling jatuh, terhantam batu besar dan tajam.

Sekujur tubuhku terluka, namun betapapun aku meringis, betapapun aku melolong, tidak akan ada jawaban. Aku hanya sendiri di sini, di jalan yang aku pilih. Rencanaku sekarang, aku akan jilat lukaku, biarkan mengering, lalu aku biarkan saja tubuhku dibawa oleh angin, entah angin musim gugur, musim dingin, musim semi, atau musim panas. Aku ingin menatap senja, matahari yang tenggalam di cakrawala, sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yayasan Al-Kahfi: Sebuah Testimoni

Journey Beyond the Lands #6: Opname (part 1)