Pagi
"Aku besok pulang." katamu via aplikasi chat sore itu.
"Wah udah pulang aja, padahal belum kemana-mana, belum sempet aku antar ke beberapa tempat menarik di sini." aku menjawab basa-basi, padahal jelas kamu yang menolak tawaran-tawaranku.
"Iya, memang udah jadwalnya cuma sampai hari ini, pekerjaan juga sudah menunggu di sana. Tapi aku suka dengan negara ini, semoga lain waktu bisa datang lagi."
"Semoga begitu ya, lain kali aku akan ajak kamu ke banyak tempat! Pesawat jam berapa besok?"
"Pesawat pagi, supaya kami bisa sampai sana malam, dan lusa sudah kembali kerja seperti biasa, maklum sudah mau akhir tahun dan tutup buku, jadi lebih sibuk deh."
"Begitu ya. Kalau gitu, mau aku antar sampai bandara? Pasti barang bawaan kamu banyak kan."
"Eh, tidak apa-apa emangnya? Bukannya kamu ada kelas besok? Lagipula, aku akan pulang pagi-pagi benar." Kenapa, kenapa kamu masih menolakku bahkan hingga akhir begini?
"Tidak apa-apa, semua bisa aku atur. Yang penting setidaknya aku bisa lihat kamu sebelum kamu terbang meninggalkan negeri ini." aku masih berusaha menawar.
"Hmm, baiklah kalau begitu, kita ketemu di stasiun ya. Kemungkinan aku akan berangkat jam 6 dari stasiun, kamu gapapa?"
Glek, jam 6. Seketika aku cek aplikasi peta, dan katanya aku harus berangkat jam 4.30, kereta pertama di hari itu.
"Okelah ga masalah, kalau begitu sampai besok jam 6 pagi ya di stasiun, jangan lupa packing malam ini dan beli semua oleh-oleh yang diperlukan." kataku menutup pembicaraan.
--**--
Kamu, yang datang tiba-tiba ke sini, memang cukup membuatku kaget. Urusan pekerjaan, katamu. Wah, kamu sudah sukses ya sekarang, pikirku ketika aku beranikan diri menghubungimu setelah aku lihat foto-fotomu di negeri ini di medsosmu. Lalu memori hari-hari itu membanjiri pikiranku. Ah, hari-hari yang indah buatku, masa-masa yang kata orang juga paling indah dan paling dikenang sepanjang hidup. Lebay banget deh, pikirku dulu, tapi setelah tahunan lewat dari masa itu, sepertinya aku pun sedikit banyak mengamini pendapat orang kebanyakan.
"Aku juga mau bahagia, tolong tinggalkan aku."
Kata-kata terakhir darimu tahunan silam, masih terpatri kuat dalam ingatanku. Ya, aku sudah terlalu jahat kepadamu. Kalau dulu AADC 2 sudah keluar, mungkin kamu akan mengatakan, "Mas, apa yang kamu lakukan kepada aku, itu jahat." kepadaku di suatu kafe sebelum aku berangkat ke negeri ini.
Sejak itu, aku putuskan untuk menghilang dari hidupmu, menyadari dan tahu diri, tak ada nilai kepantasan diri ini terhadapmu.
Tahunan berlalu, dan di sinilah aku sekarang. Kamu pun terus berkembang, meninggalkan masa lalu yang pasti menyakitkan, mengepakkan sayapmu, bertransformasi menjadi kupu yang hebat. Aku terlalu kagum kepadamu.
--**--
Jam masih menunjukkan pukul 4 pagi, musim dingin. Rasa-rasanya aku baru tidur sebentar, mungkin bisa dihitung dengan tangan sebelah tanpa perlu semua jari terbuka. Namun herannya, begitu alarm berbunyi aku bisa langsung bangun dan sadarkan diri. Ajaib. Langsung saja aku mandi, dan bersyukur shower kamar mandiku dilengkapi fungsi pengatur suhu air, karena kudengar di Inggris sana, keran air dingin dan air panas itu terpisah jadi 2. Tak terbayangkan betapa repotnya mandi di musim dingin begini.
Aku segera keluar dari kamarku, meloncat ke jalanan dan mencari taksi menuju stasiun di pagi buta begini. Betapa hebatnya orang-orang negeri ini, di pagi buta musim dingin yang dinginnya menusuk-nusuk meski aku sudah pakai jaket tebal, masih ada saja yang berlari pagi atau sekedar bersepeda. Wow.
Stasiun masih sepi, amat sangat sepi. Sepertinya baru kali ini aku sampai di stasiun sepagi ini. Tapi meski begitu, aku sudah bisa melihat beberapa orang berpakaian jas khas orang kantoran berjalan menuju peron. Gila, jam berapa mereka masuk kantor. Udara pagi yang dingin masuk melalui lorong-lorong stasiun, menghembuskan angin musim dingin yang membelai lembut leherku, dingin. Aku tadi memutuskan tidak pakai syal, cukup pakai windbreaker saja, untuk melapisi sweater Adidas yang kudapatkan dari diskon awal tahun sekitar 2 tahun silam.
Aku yang tak bisa memejamkan mata di kereta, membayangkan bisa bertemu kamu lagi setelah sekian tahun, akhirnya hanya menatap jendela, langit masih enggan bangun, padahal di musim panas, jam 5 pun sudah sangat terang. Novel yang selalu aku bawa di tas pun urung aku baca; aku takut tak bisa meresapinya, aku beralasan.
Sampai di stasiun perjanjian, aku bernafas lega, lebih cepat 15 menit dari yang diperkirakan.
"Hai, selamat pagi. Aku sudah sampai, mau aku jemput ke tempatmu menginap, atau bagaimana?" Aku memulai percakapan, tanpa sadar aku tersenyum.
5, 10 menit aku tunggu, masih tak ada balasan darimu. Tanda read pun tidak ada, aneh.
"Halo, sudah bangun belum? Aku tunggu di pintu keluar 3 ya, di daerah bus-bus stasiun."
Aku pun keluar dari stasiun, mencari tempat duduk. Ah, siapa tahu dia masih sibuk packing atau sedang mandi, atau sarapan, jadi belum sempat buka hp. Aku temukan kursi kosong di halte terdekat, langit sudah mulai cerah, namun masih kelabu dan malas. Aku lihat pohon-pohon berjajar, daun-daunnya mulai menguning, ditimpa sinar lampu kuning, menambah nuansa sendu.
10 menit kemudian, orang-orang kantoran mulai hilir-mudik, disertai anak-anak berseragam sekolah pun turut meramaikan. Ada yang berjalan, juga terlihat mereka yang menggunakan sepeda. Beberapa ada yang berjalan santai, namun tak sedikit juga yang berlari ringan, khawatir tertinggal kereta ekspress untuk menembus hiruk-pikuk kota ini. Masih tidak ada jawaban.
Berkali-kali aku lirik jam tanganku, dan entah sudah keberapa kalinya, ini sudah hampir pukul 7. Aku coba misscall tapi tak juga kamu angkat. Aku sudah coba kirim pesan sampai 5 kali pun, tak ada satu pun yang kamu baca. Aku harus apa.
--**--
"Aku sakit." Dulu, sambil menunduk dan muram kamu sampaikan hal itu.
"Sakit, apa?" Aku yang berusaha mencari tatapan matamu, gagal menemukannya.
"Aku takut, aku takut keluargamu gak bisa terima aku apa adanya. Semua keluarga pasti ingin punya calon pendamping untuk anaknya yang sehat dan bebas dari segala penyakit, bukan orang seperti aku ini." Jawabmu, yang membuat aku sakit juga.
"Hey, ini bukan soal kamu sakit dan aku sehat. Ini soal bagaimana kamu bangkit, tentunya dengan aku yang akan selalu ada di sampingmu, kita yakinkan mereka bersama-sama, bahwa semuanya tidak apa-apa, tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Aku berusaha menanamkan percaya diriku dalam kata-kataku yang terdengar klise.
"Terima kasih banyak, aku percaya kamu. Tapi, tolong, biarkan aku sendiri dulu, boleh?" Kenapa kamu harus berbohong? Kamu katakan itu dengan matamu yang berkaca-kaca, senyum yang dipaksakan.
"Semua, akan baik-baik saja." Aku tarik tubuhmu ke dalam pelukanku, aku belai rambut hitammu yang panjang, indah. Tetiba badanmu bergetar, aku bisa mendengar lirih isakanmu, masih jelas terngiang.
--**--
"Heeeeyy, maaf bangeet, sumpah maafin aku. Bos aku tiba-tiba nawarin naik mobil langsung ke bandara, aku udah bilang ada kamu yang mau antar ke bandara, tapi bos maksa dan... yaa, aku terpaksa ikut sama dia. Kamu.. udah di stasiun ya?" 7.15, pesan darimu yang masuk ke hp-ku.
"Nih buktinya, aku, bosku dan 1 temenku lagi di mobil otw bandara. Kita tadinya memang mau naik kereta, tapi karena ternyata bawaan bos banyak dan masih pagi, dingin, jadi dia mau naik mobil. Aku bener-bener minta maaaaff banget karena bos juga mendadak ngabarinnya, aku juga ga sempet sama sekali kabarin kamu, tebak kenapa, karena semalam aku ketiduran tanpa sempat charge hp-ku. Maafin banget yah, udah merepotkan kamu harus ke stasiun pagi ini." Katamu menjelaskan panjang lebar disertai foto kalian di mobil, ditutup dengan emoticon titik dua kurung buka.
"Oh begitu, ya sudah kalau begitu, memang lebih baik dan aman serta cepat pakai mobil sendiri ya, apalagi mengejar penerbangan pagi begini, konyol rasanya kalau pakai kereta." Jawabku sambil berusaha menghibur diri.
Akhirnya, kamu pun terbang, tanpa aku berhasil menatap langsung lagi wajahmu. Mungkin benar, luka itu terlalu dalam, masih menganga hingga hari ini. Semua, karenaku.
Kok sedih :(
BalasHapusjangan sedih :(
HapusKok sedih :(
BalasHapusjangan sedih :(
HapusAku juga sedih :"
BalasHapus