Journey Beyond the Lands #5: Ndaki Fuji Pt.1 sekalian Pt. 2 deh
-Push yourself, pass your limit-
D: Ma, mas Deny diajakin naik gunung Gede sama temen-temen Forces, boleh ga?
M: Emang kamu kuat Mas? Jangan ah, Mama serem kamu kenapa-kenapa.
Itu adalah cuplikan obrolan gua dan Mama tahunan silam pas gua masih di Indonesia dan kuliah di IPB. Temen-temen di Forces waktu itu pada mau naik gunung karena kebetulan ketuanya saat itu doyan beut naik gunung. Tapi meskipun udah dibujuk-bujuk, papa dan mama tetep keukeuh ga ngijinin anak sulungnya ini ndaki gunung.
Lalu.....
D: Ma, nanti summer ada acara PMIJ naik gunung Fuji, trus karena ga ada senpai atau orang yang pengalaman naik Fuji sebelumnya, Mas Deny yang jadi koordinator dan ketua rombongan nih, gimana yah? (dengan perasaan watir watir harap, soalnya kalo ga diijinin bisa batal itu acara rutin tahunan organisasi)
M: Wah hebat anak Mama dikasih kepercayaan besar. Hati-hati ya persiapkan segalanya sebaik mungkin!
What.....the........
Dialog yang terjadi menjelang summer 2014, tahun ke-2 di Jepang. Bingung banget kenapa ndaki gunung di negeri sendiri ga diizinin, sedangkan ndaki gunung di negara orang, plus mimpin rombongan, langsung dibolehin tanpa perlu dibujuk-bujuk -,- Well, seneng sih sebenernya tapi....tapi mau naik gunung di Indonesia jugaaak #ngelunjak
Long story short, jadwal awal yang harusnya acaranya 9-10 Agustus, mesti diundur 1minggu jadi 16-17 Agustus gara-gara waktu itu ada taifun yang main ke Jepang sehingga ga memungkinkan buat ndaki. Peserta yang tadinya 30an, praktis menyusut jadi "cuma" 20an. Mungkin ini salah satu cara-Nya ngebantuin gua. Hamdalah.
Oiyah, alhamdulilah gua ga ngurusin pendakian ini sendirian #ciyeeh. Ada temen yang (sepertinya) dulu pernah aktif PMIJ juga, namanya Radiz, dan dia pernah naik Fuji juga (kalo ga salah). Trus ada dosen yang lagi belajar di Chiba Univ, pak siapaa gitu lupak (males buka time capsule #plak). Karena beliau sangat ngelotok tentang naik gunung (dosen geologi) dan pengen beut naik Fuji, akhirnya gua, Radiz dan si bapak berkomunikasi intens soal persiapan dsb dst. Ternyata ga mudah dan gabisa gitu aja yak naik gunung, apalagi terkait perlengkapan medis itu harus sampek nyiapin tabung oksigen segala.
Lalu singkat cerita, alhamdulillah, dengan (banyak) kekurangan dan ke-hectic-an khususnya soal bis menuju Fuji (karena diundur 1 minggu dan orang cukup banyak) dan hal-hal lainnya, jam 4 sore semua rombongan lengkap nyampe Fuji 5th station. Oiya, jadi gunung Fuji itu terdiri dari pos 1 sampek 9 (puncak). Nah, kendaraan bermotor komersil/pribadi itu bisa mencapai pos 5, dan setelah itu harus ditempuh dengan jalan kaki sampai ke puncak. Normalnya butuh waktu 6-7 jam buat jalan dari pos 5 sampek pos 9. Ketinggian gunung Fuji sendiri, gunung tertinggi di Jepang, yaitu 3.666 m, mirip-mirip sama ketinggian gunung Kerinci (kalo ga salah 3.676m, males gugling #plak).
Kita mulai naik jam 18.30 kalo ga salah, baru mulai gelap karena musim panas. Seharusnya bisa berangkat lebih cepet, tapi karena nungguin peserta yang belum dateng, kita sekalian nunggu magrib yang digabung sama isya. Kesepakatan awal, harusnya dibuat grup berdasarkan kecepatan jalan, karena perlu distribusi tabung oksigen untuk tiap grup dan semacamnya, jaga-jaga kalau ada apa-apa. Jadi dalam hukum naik gunung, katanya sih, yang paling depan itu yang paling lemah, dan yang di belakang itu yang kuat karena dia yang ikutin pace orang-orang di depannya. Nah karena gua belum punya pengalaman samsek, gua ajukan diri buat yang ada di paling depan, dan Radiz yang udah berpengalaman jadi sweeper, yang jaga paling belakang. Tapi....
Jadi dalam rombongan, "dititipin" sama mas Agyl (beliau salah satu senpai cemerlang yang sekarang meninggalkan segala kemapanan di Jepang untuk belajar agama di Tanah Air) ortunya beliau yang sudah berumur 60-70an mungkin. Katanya mereka berdua pengen nyobain naik Fuji. Gua yang agak skeptis, mau ndak mau nerima amanat ini. Akhirnya, si bapak ibu yang ga mungkin mengikuti ritme anak-anak muda, praktis tertinggal di belakang. Plus ternyata si bapak bawa Pocari Sweat 2liter, makin beratlah perjuangannya. Akhirnya sampek di Pos 6, mereka sadar akan kemampuannya, lalu memutuskan turun lagi dan cari hotel di bawah karena ga tega menahan gua di belakang. Iya, gua udah ketinggalan jauh hiks.
Akhirnya, sambil gua melepas kepergian mereka dengan berat, karena mereka menganugerahkan Pocari 2 liter-nya ke gua.... Gapapa sih, lumayan ada tambahan minum air mineral 2 Liter yang udah gua bawa di tas, iyah beneran gapapa.... Lalu gua berusaha kejar ketertinggalan, alhamdulillah ketemu sama banyak anggota rombongan lain selama perjalanan.
1 hal yang paling menarik dari ndaki Fuji, yaitu track yang dilalui dari 1 pos ke pos selanjutnya itu unik, masing-masing menawarkan tantangan yang berbeda. Dari 5 ke 6 itu semaacam pemanasan, jalannya nanjak tapi ga terlalu curam. Dari 6 ke 7 itu jalan berpasir kerikil, relatif lebih berat karena harus ndorong badan ke atas, tapi karena pasir kerikil itu, semakin besar gaya yang diberikan, semakin terperosok ke bawah #naonsihden. Dari 7 ke 8, literally batu-batu yang curam dan tinggi-tinggi. Kadang harus pake tangan atau tongkat (akalu bawa) buat ngangkat badan ke atas. Terkadang harus berhenti soalnya orang di depannya macet. Bener-bener menantang. Nah yang terakhir, dari 8 ke 9, ini yang paling paling menantang. Kamu bisa liat tuh ujung puncaknya Fuji, lumayan banyak lampu-lampu, tapi seeeeebeeeraaapaaa jauh kamu udah jalan, seeebeeeraaapaa lamaa kamu jalan, ga nyampe-nyampe, literally ga nyampek-nyampek. Bahkan saking jauhnya, sampe ada pos 8.5 dan banyak penginapan sementara di sana buat mereka yang ga kuat lagi wkwk. Tapi perk-nya, mulai dari pos ini onward, kamu bisa liat the starry dome, penglihatan ke langit yang tak terbatas. Bener..bener....indah....ga boong.... Nengok ke atas, itu bener-bener ga ada awan, karena emang udah ada di atas awan! Dan kamu bisa liat awan-awan itu, ditimpa sinar rembulan, sejauh mata memandang! Kembali tengok ke atas, bintang bener-bener jelas banget keliatan, buaanyaakkkkkk banget bertebaran di langit. Bener-bener pemandangan yang ga terlupakan, terindah yang pernah gua liat seumur hidup. Gua sampe berkali-kali tiduran ngadep langit, sambil istirahat ngatur napas, sambil menikmati keindahan alam ciptaan-Nya. Kalau beruntung, bisa liat bintang jatuh, dan iya gua sempet liat beberapa bintang jatuh, asli!
Alhamdulillah sekitar jam setengah 5, gua sampe di puncak. Udah payah banget, sarung tangan ilang sebelah, kemungkinan pas lagi moto sunrise yang muncul dan jatoh di bawah, suhu udara bener-bener dingin banget ga pake boong. Tapi alhamdulillah, sampai jam 6.30 semua rombongan bisa sampai ke puncak, meski ada beberapa masalah kesehatan yang dialami beberapa orang sebelumnya. Bayangin, tabung oksigennya habis di 1 rombongan dan ada 1 orang yang udah megap-megap gitu napasnya.
Berhubung ketika sampek puncak itu tanggal 17 Agustus, rasanya ga lengkap kalo kitorang ga upacara toh. Jadi, kita adain deh upacara 17 Agustus, dingin-dingin, abal-abal, tapi gilak seru parah!! Bisa dicek di....jengjengjeng
D: Ma, mas Deny diajakin naik gunung Gede sama temen-temen Forces, boleh ga?
M: Emang kamu kuat Mas? Jangan ah, Mama serem kamu kenapa-kenapa.
Itu adalah cuplikan obrolan gua dan Mama tahunan silam pas gua masih di Indonesia dan kuliah di IPB. Temen-temen di Forces waktu itu pada mau naik gunung karena kebetulan ketuanya saat itu doyan beut naik gunung. Tapi meskipun udah dibujuk-bujuk, papa dan mama tetep keukeuh ga ngijinin anak sulungnya ini ndaki gunung.
Lalu.....
D: Ma, nanti summer ada acara PMIJ naik gunung Fuji, trus karena ga ada senpai atau orang yang pengalaman naik Fuji sebelumnya, Mas Deny yang jadi koordinator dan ketua rombongan nih, gimana yah? (dengan perasaan watir watir harap, soalnya kalo ga diijinin bisa batal itu acara rutin tahunan organisasi)
M: Wah hebat anak Mama dikasih kepercayaan besar. Hati-hati ya persiapkan segalanya sebaik mungkin!
What.....the........
Dialog yang terjadi menjelang summer 2014, tahun ke-2 di Jepang. Bingung banget kenapa ndaki gunung di negeri sendiri ga diizinin, sedangkan ndaki gunung di negara orang, plus mimpin rombongan, langsung dibolehin tanpa perlu dibujuk-bujuk -,- Well, seneng sih sebenernya tapi....tapi mau naik gunung di Indonesia jugaaak #ngelunjak
Long story short, jadwal awal yang harusnya acaranya 9-10 Agustus, mesti diundur 1minggu jadi 16-17 Agustus gara-gara waktu itu ada taifun yang main ke Jepang sehingga ga memungkinkan buat ndaki. Peserta yang tadinya 30an, praktis menyusut jadi "cuma" 20an. Mungkin ini salah satu cara-Nya ngebantuin gua. Hamdalah.
Oiyah, alhamdulilah gua ga ngurusin pendakian ini sendirian #ciyeeh. Ada temen yang (sepertinya) dulu pernah aktif PMIJ juga, namanya Radiz, dan dia pernah naik Fuji juga (kalo ga salah). Trus ada dosen yang lagi belajar di Chiba Univ, pak siapaa gitu lupak (males buka time capsule #plak). Karena beliau sangat ngelotok tentang naik gunung (dosen geologi) dan pengen beut naik Fuji, akhirnya gua, Radiz dan si bapak berkomunikasi intens soal persiapan dsb dst. Ternyata ga mudah dan gabisa gitu aja yak naik gunung, apalagi terkait perlengkapan medis itu harus sampek nyiapin tabung oksigen segala.
Lalu singkat cerita, alhamdulillah, dengan (banyak) kekurangan dan ke-hectic-an khususnya soal bis menuju Fuji (karena diundur 1 minggu dan orang cukup banyak) dan hal-hal lainnya, jam 4 sore semua rombongan lengkap nyampe Fuji 5th station. Oiya, jadi gunung Fuji itu terdiri dari pos 1 sampek 9 (puncak). Nah, kendaraan bermotor komersil/pribadi itu bisa mencapai pos 5, dan setelah itu harus ditempuh dengan jalan kaki sampai ke puncak. Normalnya butuh waktu 6-7 jam buat jalan dari pos 5 sampek pos 9. Ketinggian gunung Fuji sendiri, gunung tertinggi di Jepang, yaitu 3.666 m, mirip-mirip sama ketinggian gunung Kerinci (kalo ga salah 3.676m, males gugling #plak).
Kita mulai naik jam 18.30 kalo ga salah, baru mulai gelap karena musim panas. Seharusnya bisa berangkat lebih cepet, tapi karena nungguin peserta yang belum dateng, kita sekalian nunggu magrib yang digabung sama isya. Kesepakatan awal, harusnya dibuat grup berdasarkan kecepatan jalan, karena perlu distribusi tabung oksigen untuk tiap grup dan semacamnya, jaga-jaga kalau ada apa-apa. Jadi dalam hukum naik gunung, katanya sih, yang paling depan itu yang paling lemah, dan yang di belakang itu yang kuat karena dia yang ikutin pace orang-orang di depannya. Nah karena gua belum punya pengalaman samsek, gua ajukan diri buat yang ada di paling depan, dan Radiz yang udah berpengalaman jadi sweeper, yang jaga paling belakang. Tapi....
Jadi dalam rombongan, "dititipin" sama mas Agyl (beliau salah satu senpai cemerlang yang sekarang meninggalkan segala kemapanan di Jepang untuk belajar agama di Tanah Air) ortunya beliau yang sudah berumur 60-70an mungkin. Katanya mereka berdua pengen nyobain naik Fuji. Gua yang agak skeptis, mau ndak mau nerima amanat ini. Akhirnya, si bapak ibu yang ga mungkin mengikuti ritme anak-anak muda, praktis tertinggal di belakang. Plus ternyata si bapak bawa Pocari Sweat 2liter, makin beratlah perjuangannya. Akhirnya sampek di Pos 6, mereka sadar akan kemampuannya, lalu memutuskan turun lagi dan cari hotel di bawah karena ga tega menahan gua di belakang. Iya, gua udah ketinggalan jauh hiks.
Akhirnya, sambil gua melepas kepergian mereka dengan berat, karena mereka menganugerahkan Pocari 2 liter-nya ke gua.... Gapapa sih, lumayan ada tambahan minum air mineral 2 Liter yang udah gua bawa di tas, iyah beneran gapapa.... Lalu gua berusaha kejar ketertinggalan, alhamdulillah ketemu sama banyak anggota rombongan lain selama perjalanan.
1 hal yang paling menarik dari ndaki Fuji, yaitu track yang dilalui dari 1 pos ke pos selanjutnya itu unik, masing-masing menawarkan tantangan yang berbeda. Dari 5 ke 6 itu semaacam pemanasan, jalannya nanjak tapi ga terlalu curam. Dari 6 ke 7 itu jalan berpasir kerikil, relatif lebih berat karena harus ndorong badan ke atas, tapi karena pasir kerikil itu, semakin besar gaya yang diberikan, semakin terperosok ke bawah #naonsihden. Dari 7 ke 8, literally batu-batu yang curam dan tinggi-tinggi. Kadang harus pake tangan atau tongkat (akalu bawa) buat ngangkat badan ke atas. Terkadang harus berhenti soalnya orang di depannya macet. Bener-bener menantang. Nah yang terakhir, dari 8 ke 9, ini yang paling paling menantang. Kamu bisa liat tuh ujung puncaknya Fuji, lumayan banyak lampu-lampu, tapi seeeeebeeeraaapaaa jauh kamu udah jalan, seeebeeeraaapaa lamaa kamu jalan, ga nyampe-nyampe, literally ga nyampek-nyampek. Bahkan saking jauhnya, sampe ada pos 8.5 dan banyak penginapan sementara di sana buat mereka yang ga kuat lagi wkwk. Tapi perk-nya, mulai dari pos ini onward, kamu bisa liat the starry dome, penglihatan ke langit yang tak terbatas. Bener..bener....indah....ga boong.... Nengok ke atas, itu bener-bener ga ada awan, karena emang udah ada di atas awan! Dan kamu bisa liat awan-awan itu, ditimpa sinar rembulan, sejauh mata memandang! Kembali tengok ke atas, bintang bener-bener jelas banget keliatan, buaanyaakkkkkk banget bertebaran di langit. Bener-bener pemandangan yang ga terlupakan, terindah yang pernah gua liat seumur hidup. Gua sampe berkali-kali tiduran ngadep langit, sambil istirahat ngatur napas, sambil menikmati keindahan alam ciptaan-Nya. Kalau beruntung, bisa liat bintang jatuh, dan iya gua sempet liat beberapa bintang jatuh, asli!
Alhamdulillah sekitar jam setengah 5, gua sampe di puncak. Udah payah banget, sarung tangan ilang sebelah, kemungkinan pas lagi moto sunrise yang muncul dan jatoh di bawah, suhu udara bener-bener dingin banget ga pake boong. Tapi alhamdulillah, sampai jam 6.30 semua rombongan bisa sampai ke puncak, meski ada beberapa masalah kesehatan yang dialami beberapa orang sebelumnya. Bayangin, tabung oksigennya habis di 1 rombongan dan ada 1 orang yang udah megap-megap gitu napasnya.
Berhubung ketika sampek puncak itu tanggal 17 Agustus, rasanya ga lengkap kalo kitorang ga upacara toh. Jadi, kita adain deh upacara 17 Agustus, dingin-dingin, abal-abal, tapi gilak seru parah!! Bisa dicek di....jengjengjeng
Bisa denger sendiri anginnya kuennceeng pisan (waktu itu belum punya mic external dan deadcat, sekarang udah punya #pamer), dan gua harus megangin tripod dan kamera, karena gua ga punya sandbag (yakali bawa sandbag ke puncak Fuji). Tapi jujur, sepanjang gua ikut upacara dari SD sampe sekarang, itu adalah upacara paling bermakna, memorable, wah pokoknya paling paling paling dah.
Dan gua pikir, turun gunung itu jauh jauh lebih gampang daripada ndaki. I was never wrong before. Ternyata lebih riweuh turun gunung, karena mesti nahan laju, and that's the worst feeling I ever felt. Akhirnya jam 2 siang, semua peserta sampek bawah, dan kita pulang naik bis jam 3 dan jam 4, semuanya sampek dengan selamat di Shinjuku jam 6. Dan seluruh badan gua pun sakit-sakit selama 3 hari.
Ndaki Fuji Pt. 2
Ndaki Fuji yang ke-2, terjadi summer tahun lalu, 13-14 Agustus, sayang nget ga tepat 17-an, karena tanggal 17-nya diprediksi ada taifun. Lagi-lagi dapet amanah buat mimpin rombongan, dan kali ini peminatnya ada 23 kalo ga salah. Uniknya, kali ini ga cuma WNI aja yang ikut, tapi juga ada 4 atau 5 WNA gitu yang turut serta. Kali ini gua dibantu sama Dila yang 2 minggu sebelumnya udah ndaki Fuji (gilak), Sapto, dan mbak Rika. Alhamdulilah rombongan kali ini terlihat lebih fit dan siap dibanding 2 tahun sebelumnya. Dan bener aja, kita mulai naik jam 5 nih, terus si Sapto udah sampe puncak jam 2... Lalu anggota yang lain pun sampek puncak terbilang cepet, sebelum jam 5 udah pada sampe puncak. Lalu gua?
Jadi, di rombongan itu ada 2 ibu-ibu yang pengen ikutan. Mereka masih 40an kalau ga salah. Yang 1 ibu-ibu kerudungan, 1 lagi sohibnya si Ibu, jauh lebih tomboy dari ibu 1. Jauh-jauh sebelum hari H, udah diwanti-wanti bahwa ndaki Fuji itu butuh persiapan fisik ekstra dan akan amat sangat melelahkan. Tapi kedua ibu ini berjanji akan bisa mengikuti ritme dan pace, baiklah we give em a shot. Gua, lagi-lagi merelakan berada di paling belakang, setelah kedua ibu ini, berkali-kali berhenti padahal kita bahkan belum sampai pos 6. Oiya, trail yang kita pakai kali ini beda dengan pendakian pertama. Bedanya apa, nanti akan dijelaskan di akhir tulisan.
Setiap jalan, katakanlah, 1-2 menit, ibu 2 mesti berhenti karena nafasnya ga kuat. Maklum, sebelum naik tadi di pos 5 sempet ngerokok dulu 2 batang. Sesampainya di pos 6, ibu 2 mengaku nafasnya ga kuat untuk naik, dan membutuhkan rokok untuk melegakannya. Baiklah bu, baik.......... #megafacepalm
Karena di pos 6 ndak ada penginapan, dan ga mungkin balik ke pos 5 yang juga ga ada penginapan, akhirnya kita (gua, 2 ibu, dan adik ibu 2) yang udah tertinggal lumayan, melanjutkan perjalanan, seenggaknya sampai pos 7 lah, begitu rencananya. Sampai di pos 7, sempet bingung si ibu mau lanjut lagi atau stay di pos 7, karena mereka merasa 'kok ya masih kuat nih, masih bisa naik lagi'. Tapi demi kemaslahatan bangsa, karena udah tertinggal jauh, akhirnya kedua ibu kami tinggal di penginapan yang ada di pos 7. Seorang mesti bayar 5000 yen, 2 orang jadi 10ribu yen. Padahal itu tuh cuma dapet space seuprit, ga ada tipi, segala ala kadarnya. Memang teori ekonomi tentang supply-demand sangat berlaku di atas sana.
Akhirnya gua, adiknya ibu 2, dan 1 orang yang kita temui tertinggal, lanjutin perjalanan. Dan gila, begitu keluar dari pos 7 menuju pos 8, ketemu sama jalanan yang berpasir kerikil, jauh jauh lebih terjal dan berat dibanding pas pendakian pertama. Gua langsung membatin, 'untung ibu-ibu udah diamankan di penginapan'. Singkat cerita, perjalanan dari pos 8 menuju pos puncaklah yang paaaling gua tunggu-tunggu, the starry dome. Sayang banget gua udah coba abadikan pemandangannya, tapi pengetahuan fotografi gua saat itu masih bodong, jadi yang didapat cuma langit gelap gulita :(( Tapi ga nyesel, seakan semua lelah sampai poin itu lenyap setelah ngeliat the dome.
Akhirnya, setelah berjalan dari jam 5 sore, gua nyampek puncak jam 6..... a solid 13 hours of climbing. Well ga juga sih, karena gua banyak banget berenti dan istirahatnya, jadinya ngaret sampe 13 jam ^^; Tapi seenggaknya gua bisa dapet secuil time lapse pas menjelang sunrise (bisa diliat di Instagram @denypra_wan #eapromosi), dan kita bisa foto-foto bareeng di atas.
Dan keinginan double dab di puncak fuji pun tercapai!! yeah!!
Lalu turunnya.....lebih gila lagi, lebih capek lagi... trail yang ini bener-bener dah ampun, kapok lewat trail yang ini.. kapok komandan kapok.... gua mulai turun jam 7 atau 8 gitu, dan baru nyampe bawah jam 14, karena banyak banget istirahat, sampek sempet tidur mungkin kalo diakumulasi sampe 30-1 jam saking capeknya ^^; Banyak banget yang bisa diambil dari pendakian ke-2 ini. Banyak. Banget.
Perbedaan Pt. 1 dan Pt. 2
Jadi, untuk mencapai puncak Fuji itu ada 5 trail yang bisa kita pilih. Yoshida, Fujinomiya, Subashiri, Gotemba, dan 1 lagi lupa (males gugling #plak). Nah di Pt. 1, gua naik lewat Yoshida trail, trail paling umum dan sering dipake orang. Di Pt. 2, gua naik lewat Subashiri. Ternyata bener kata orang, Yoshida trail itu yang paling gampang dibanding semuanya. Naik lewat Subashiri itu langsung disuguhi jalur-jalur dari semi-terjal sampai terjal. Langsung menghabiskan stamina yang lumayan banyak, sedangkan kalo Yoshida, difficulty-nya naik perlahan-lahan. Jadi, buat kamu kamu kamu yang belum pernah dan pengen naik Fuji, pilihlah Yoshida trail. Nah tapi supaya bisa naik lewat Yoshida trail, kalo berangkat dari Tokyo, itu harus mesen tiket bisnya dulu. Semakin banyak rombongannya, harus mesen jauh-jauh hari. Pendakian ke-2 sebenarnya pengen lewat Yoshida, tapi karena telat mesen, kita udah keabisan tiket buat 20an orang... Akhirnya harus lewat Subashiri trail deh...
Waktu pendakian pertama, gua lagi rajin-rajinnya baito. Bayangkan, nyuci piring di 2 restoran, waktu itu. Karena lagi summer break dan saat itu kebetulan gua kerja di 2 tempat, dan shiftnya praktis dibagi 2. 5 jam dari pagi hari di Roppongi, 5 jam sisa harinya di Akasaka. Berangkat jam 8, baru sampe kamar lagi jam 11 malam, dan besoknya begitu lagi selama kurang lebih 2 minggu sebelum naik Fuji. Jadi sebelum naik Fuji itu gua udah semacam 'latihan fisik' nyuci piring 10 jam perhari, berdiri terus, jadi ga ngerasa terlalu berat pas ndaki, wong udah terbiasa. Sedangkan sebelum pendakian 2, gua udah berhenti kerja di restoran sejak Mei, praktis gua ga punya 'sarana' latihan fisik. Mana kerjaannya main game doang di kamar, dan gua latihan fisik, jogging, itu pun 2-3 hari sebelum naik gunung #plak. Jadi, ga heran juga, pendakian 2, selain emang trailnya lebih berat, persiapan gua pun amat sangat kurang. Adalah keajaiban gua bisa sampe atas dan bisa turun lagi dengan selamat.
Pelajaran
Ada pepatah bilang, kalau mau liat sifat dan karakter aslinya seseorang, ajak dia naik gunung, karena ketika naik gunung, semua sifat dan karakter asli seseorang itu akan terbuka dan terlihat. Entah bener atau nggak, tapi somehow ga percaya dengan pepatah itu. Waktu pendakian pertama, gua yangudah amat sangat payah; kedinginan, sarung tangan ilang sebelah, ga ada shelter buat ngangetin diri, feels like bener-bener putus asa. Sampe waktu itu ngomong ke kouhai, "Man lu yang jadi ketua aja deh ya gua udah capek banget", saking putus asanya. Si Iman dengan muka ga paham cuma senyum-senyum aja dan berlalu wkwk. Tapi beneran, gua dapetin pepatah buatan sendiri yang selalu gua bacakan di akhir siaran, 'Push yourself, pass your limit' itu ketika ndaki gunung. Ketika berkali-kali gua merasa putus asa, kok ya ga nyampe-nyampe, capek, mau istirahat aja, gua bisikkan kata-kata itu ke diri sendiri. Sedikit lagi, ayo, sedikit lagi.
Sebenernya dari beres ndaki pertama, seakan udah janji sama diri sendiri, 'gua ga akan lagi ndaki Fuji lah'. Eh taunya dikasih kesempatan buat ndaki lagi 2 tahun berikutnya. Melihat pengalaman tahun lalu pun, betapa putus asanya dan lelah luar biasa, gua berjanji buat ga naik Fuji lagi. Tapi... kayaknya summer ini akan naik lagi, tapi bareng anak-anak PPI Kanto, kali ini, mungkin yah... Gua masih punya hutang posting the starry dome di medsos, semoga di kesempatan berikutnya bisa dapet (tapi capek naiknya :(( ) Bahkan ketika di puncak pun, denger celetukan orang Jepang, "Gilak caur bro gua ga kuat, gua pikir ga segininya, ampun dah asli", padahal orang Jepang terkenal akan ketahanan fisiknya, seketika gua merasa bangga bisa menaklukkan Fuji 2x mehehehehe (tapi lebih sadis Dila sih, naklukin Fuji 2x dalam interval 2 minggu gelagelagela).
Seenggaknya, seumur hidup 1x, amat sangat disarankan buat naik gunung yang ketinggian minimalnya bisa melewati batas-batas awan, supaya bisa liat the starry dome, amat sangat direkomendasikan. Naik gunung juga banyak mengajarkan tentang kehidupan dan hidup itu sendiri, diingatkan tentang betapa kecilnya manusia, betapa sempurnanya ciptaan-Nya, membuat kita melihat lagi ke dalam diri. Dan pelajaran paling penting yang bisa gua ambil dari ekspedisi naik gunung, adalah tentang kekuatan sugesti dan ikhtiar, betapa kepada kekuatan diri sendirilah kita harus percayakan langkah dan masa depan (naonsihden).
Jadi, ketika lu merasa putus asa, ketika lu bisa melihat ujung pendakian, tapi jalan yang lu tempuh seakan ga henti-henti dan ga ada abis-abisnya...
Push yourself, pass your limit.
Kok gue merasa keren yak di tulisan lu ini Den?
BalasHapusHahaha
Tambahan Den, gue dua kali naik dua-duanya lewat Subashiri Trail
>.<
Itu sih fix namanya orang yang ga ada kerjaan selama natsu yasumi.
XD
Wkwkwk, sayangnya ada juga yg keren dil, si afif juga kemarin selang 1 minggu naik fuji lagi. Nah itu, bedanya lu duaduanya Subashiri, salut salut *sungkem*
Hapus