Cangkir


Pada suatu hari, ada seorang guru dan muridnya. Sang murid, meminta kebijaksanaan dari gurunya yang sudah renta itu.

Murid (M): "Guru, ajarkanlah kepadaku suatu kebijaksanaan."
Guru (G): "Ambillah 2 buah cangkir dan sebuah teko. Isilah teko tersebut dengan air."

Setelah sang murid membawa barang-barang yang diminta oleh gurunya, sang guru memegang cangkir dan menyerahkan teko berisi air kepada muridnya.

G: "Tuangkanlah air dalam teko ke dalam cangkir ini sampai penuh."

Cangkir yang masih kosong, diletakkan rendah dan dipegang oleh sang guru, sang murid menuangkan air ke dalam cangkir sampai penuh sesuai perintah gurunya.

G: "Sekarang cangkir pertama sudah penuh. Kali ini terus tuangkan airnya ke dalam cangkir yang sampai kusuruh berhenti."

Sang guru kali ini mengangkat cangkir kedua setinggi-tingginya, menyebabkan sang murid kesulitan menuangkan air ke dalam cangkir, dan ketika cangkir sudah penuh terisi air, sang guru belum menyuruh muridnya berhenti, sehingga air pun bertumpahan karena cangkir penuh terisi air.

M: "Guru, jangan mengangkat-angkat cangkirnya seperti itu, aku sulit menuangkan air, dan lagipula cangkirnya sudah penuh!"

Sambil menurunkan cangkir yang penuh air, sang guru menjelaskan makna di balik kejadian itu.

G: "Itulah perumpamaan para pencari ilmu. Anggaplah cangkir sebagai kepala, otak kita ketika mencari ilmu. Ketika otak kita diletakkan serendah mungkin dan sekosong mungkin, maka kita akan bisa menerima ilmu dan pelajaran yang 'dituangkan'. Sedangkan sebaliknya, ketika kita merasa 'cangkir' kita sudah penuh, dan kita letakkan 'cangkir' kita tinggi, maka ilmu yang sedang tidak ada proses belajar yang terjadi, karena kita sudah merasa tinggi dan penuh, tidak ada ilmu yang bisa masuk ke dalam diri yang sombong ini."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yayasan Al-Kahfi: Sebuah Testimoni

Journey Beyond the Lands #6: Opname (part 1)