Journey Beyond the Lands #7: Hare Otoko

Nenek moyang orang Jepang adalah bangsa agraris, hidup dari kegiatan bertani dan bercocok tanam, sejak dahulu sangat bergantung dengan perubahan cuaca dan musim. Jepang yang memiliki 4 musim (panas, gugur, dingin, semi) yang setiap musimnya punya ciri khas sangat berbeda dibandingkan musim lainnya, sangat terkejawantah dalam keseharian orang Jepang, mulai dari sapaan sehari-hari, fashion, sampe menu makanan dan minuman di restoran, atau sekedar bir pun ada produk seasonalnya. Well you can say, Japanese are, season-freak.

Saking freaknya mereka soal cuaca, mereka percaya bahwa ada orang-orang yang bisa "membawa" cuaca tertentu di setiap kehadirannya. Ada istilah, hare otoko, hare onna, ame otoko, ame onna (hare=cerah, ame=hujan, otoko=laki-laki, onna=perempuan). Jadi, secara harfia, hare otoko artinya adalah laki-laki cerah, ame otoko artinya, laki-laki hujan, dan seterusnya. Istilah ini biasa dipakai kalo orang Jepang mau ngadain acara outdoor. Misal, "Wah kita harus ajak si A nih, dia kan hare otoko, kalo ajak dia ga bakal ujan besok." Atau sebaliknya, "Wah besok bau-baunya harus bawa payung nih, soalnya si B, si ame onna, bakal ikutan."


Sebagai info bonus, selain "mempercayai" konsep hare ame onna otoko ini, orang Jepang mengenal juga yang namanya teruterubouzu, boneka yang dianggap bisa 'menangkal' hujan jika keesokan harinya akan diadakan acara outdoor. Dulu, semasa hoikuen di Jepang, sering bikin yang beginian kalau besoknya ada acara piknik atau hari Olahraga. Buatnya gampang, cukup sediakan 2 lembar tisu, trus tisu yang satu digumpal-gumpal, tisu yang satu lagi dipake ngebungkus tisu yang pertama. Iket pake karet atau tali, dan tinggal dikasih mata dan mulut pake spidol/pensil, voila, jadi deh. Lalu teruterubouzu yang udah jadi, gantung di jendela untuk menangkal hujan. Atau sebaliknya, kalau ingin besoknya hujan, gantungnya tinggal dibalik, kaki di kepala, kepala di kaki. Jepang, yang perkembangan teknologinya udah melesat jauh dari Indonesia, kok ya masih percaya beginian yah. 不思議だね。

Trus kenapa bawa topik ini? Well, soalnya, pas kemarin naik gunung Fuji (untuk ke-3 kalinya), ada hal menarik yang terjadi.
Jas hujan adalah salah satu kelengkapan naik gunung Fuji yang harus ada, karena kalo udah kena hujan, dan ga punya jas hujan, khatam hidup kamu Sob sebagai pendaki gunung.
Kalo dirunut, sejarah naik gunung Fuji gua, dimulai dari tahun 2014, istirahat 1 tahun, naik lagi 2016, lalu yang paling baru, tahun 2017. Dan jas hujan yang di foto itu, gua beli persis di tahun 2014! Means, ini jas hujan udah berumur 4 tahun tan belum dibuka sama sekali, dan setiap gua naik gunung Fuji, selalu dalam keadaan cerah. Bahkan pas naik kemarin, pas dateng kondisinya udah ujan dan gerimis turun, temen-temen yang lain udah siap dan naik pake jas ujan, sedangkan gua sendirian pede ga pake jas ujan, karena yakin pas naik dikit, ujannya akan berenti.

Dari pos 5 menuju ke 6, memang hujan gerimis sih, dan gua pun antara maju mundur pake atau ga pake jas ujan. But for the sake of conveniences, gua milih buat ga pake. Akhirnya, lepas pos 7, semua nyerah dan lepas jas hujan. Dan sampai keesokan harinya pun, kita mendaki dengan tenang tanpa gangguan hujan sedikitpun. Sedangkan Afif, teman perjalanan kali itu, baru ndaki Fuji 2 minggu sebelumnya, dengan kondisi basah kuyup gara-gara hujan, begitupun 1 tahun sebelumnya.

Mungkin, gua bisa dengan bangga bilang, kalo gua adalah, hare otoko.

tentang mendaki gunung fuji

Komentar

  1. Dalam sangat banyak kasus, gue adalah ame onna, Den. Hahaha.
    Bahkan ke Disney Sea-Disney Land total 3 kali aja selalu kena hujan -_-

    Bahkan pas pertama kali gue nge-Fuji (sebulan sebelum PMIJ nanjak tahun lalu) aja gerimis ganteng. Tapi efek hare otoko lu lebih kuat kayaknya pas nge-Fuji tahun lalu.
    *elus-elus dagu sendiri*

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yayasan Al-Kahfi: Sebuah Testimoni

Journey Beyond the Lands #6: Opname (part 1)