Journey Beyond the Lands #12 : Sampai Jadi Debu


Pukul 3 pagi waktu Ichikawa. Aku masih duduk di meja makan sambil menyortir receipt dan memasukkan data ke Google Drive. "Kebiasaan" yang sudah aku mulai dari tahun-tahun terakhir kuliah, menyortir semua receipt dan memasukkan jumlah pengeluaran dan menyortirnya berdasarkan penggunaan, untuk mengetahui "ada dimana" posisi keuangan. Untungnya besok libur, jadi bisa tidur ba'da Shubuh dan bangun siang. Dasarnya tukang nunda, receipt dari bulan April pun belum disortir, otomatis makan waktu lumayan banyak.

Tiba-tiba, lagu Banda Neira, Sampai Jadi Debu, terputar di Daily Mix 2 Spotify. Lagu yang tadinya mau kita nyanyiin bareng di nikahan, tapi sayangnya batal karena acaranya padet banget (padahal emang belum bisa main pianonya). Kebetulan, receipt tertanggal 4 Mei lah yang muncul, 2 hari sebelum kepulangan sementara Dea ke Indonesia, saat kami ke klinik dekat rumah untuk infus Dea.

Kontan, memori 2 bulan lalu pun terpanggil. Ketika keputusan pulang sementara harus diambil karena kondisi Dea yang tidak memungkinkan untuk ditinggal sendiri seharian. Aku memang sempat menawarkan hal itu seminggu setelah kami mengetahui kehamilan, dan kondisi Dea yang sangat lemah karena mual hebat. Tapi Dea bersikeras untuk tetap tinggal dan menemani aku, serta ingin menjalani kehamilan dekat dengan aku. Aku menangis waktu itu, menyadari ketidakberdayaan untuk memberikan yang terbaik untuk Dea, keharusan untuk meninggalkan di pagi sampai sore hari. Dea menguatkanku, berjanji untuk menjadi kuat dan berusaha beraktivitas normal.

Namun apa daya, demi kebaikan ibu dan anak, keputusan pulang sementara harus diambil. Saat Dea mengutarakan hal itu, gantian dia yang menangis, dan aku yang menguatkan. "Tidak apa-apa, yang penting kamu dan anak kita sehat, kan cuma 3 bulan," kataku waktu itu.

Di hari kepulangan, aku berusaha untuk selalu bermuka cerah, siap siaga dengan beberapa kantong plastik di dalam tas. Aku mengantar Dea yang berkursi roda sampai pintu keberangkatan. Beruntung staf yang mengantar sangat baik, dia berkali-kali membiarkan Dea melihat ke arah luar dan mengisyaratkan padanya untuk melambaikan tangan kepadaku. Aku terdiam di pintu keberangkatan sampai keduanya menghilang dari gerbang imigrasi.

Hidup sendiri bukan hal baru buatku, aku sudah hidup sendiri 4 tahun ke belakang. Namun sesampainya di rumah, seakan kehampaan menyergap. Setelah hampir 2 bulan hidup bersama, dan beberapa minggu terakhir aku membantu Dea di keseharian, kembali ke kehidupan sendiri itu agak.....aneh. Awalnya aku merasa biasa saja, seakan kembali ke kehidupan bujang yang terakhir kali kurasakan 3 bulan silam. Namun lama kelamaan, ketika aku pulang ke rumah, dan tidak ada yang membukakan pintu ketika aku iseng membunyikan bel berkali-kali, atau ketika langit telah menggelap, namun lampu di rumah tidak menyala dan tidak tercium aroma harum makan malam, sering kali kesepian menyergap. Tapi aku tahu, aku adalah pemimpin rumah tangga, dan aku harus tabah serta kuat.

Salah satu hiburan adalah ketika Dea bisa mengangkat telpon, dan kami kembali ke masa-masa LDR 8 jam, cuma kali ini hanya beda 2 jam saja. Melihatnya berjuang ngobrol lama denganku, menyingkirkan segala rasa mual yang melanda, yang seringkali setelah kami telponan, dia akan langsung menyambar kantong plastik untuk muntah, membuatku sangat ingin segera terbang ke Indonesia.

Dan sekarang, Kangen dari Dewa terputar di Spotify.....

1 bulan lagi, kalau semua lancar, Dea akan kembali ke Jepang. Semakin hari, aku melihat dia semakin kuat. Senyum cerahnya sudah kembali, gurauan garingnya sudah lebih kriuk, nafsu makannya berkali lipat. 1 bulan lagi kami akan bertemu lagi, dengan perut Dea yang sekarang sudah mengalahkan lingkar perutku. Aku tidak sabar untuk bisa segera bertemu dengan mereka. Meskipun mungkin tidak bisa kemana-mana selama libur Obon, tapi aku ingin "membalas" waktu yang hilang 3 bulan ini.

Aku cinta kamu, Dea. Terima kasih sudah selalu berjuang untuk kami.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yayasan Al-Kahfi: Sebuah Testimoni

Journey Beyond the Lands #6: Opname (part 1)